![]() |
Hence Mandagi Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia & Ketua LSP Pers Indonesia |
Tuntasposttv.com/Jakarta
Insiden tragis yang menewaskan Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, pada akhir Agustus lalu memicu kemarahan publik dan ketegasan pemerintah. Peristiwa ini pun menjadi momentum krusial yang mendorong Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto mewacanakan pembentukan tim reformasi kepolisian guna memastikan akuntabilitas dan profesionalisme Polri.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo langsung bergerak cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri sebagai langkah internal untuk perbaikan menyeluruh di institusi kepolisian. Tim ini beranggotakan 52 perwira tinggi dan menengah dan diketuai oleh Komjen Pol. Chryshnanda Dwilaksana.
Wacana dan upaya reformasi Polri sebetulnya sudah dilakukan sejak beberapa presiden sebelumnya, terutama pasca-Orde Baru. Reformasi ini tidak terjadi secara instan, melainkan merupakan sebuah proses panjang dengan fokus yang berbeda-beda di setiap era kepemimpinan.
Pada masa Presiden B.J. Habibie, gagasan pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mulai menguat. Puncaknya, pemisahan ini diresmikan secara hukum pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemisahan ini merupakan langkah fundamental untuk menjadikan Polri sebagai entitas sipil yang profesional dalam melayani masyarakat, bukan sebagai alat kekuasaan militer.
Di era Presiden Megawati, diterbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. UU ini menjadi landasan hukum yang kuat bagi Polri untuk menjalankan tugasnya secara mandiri, profesional, dan modern. UU ini menegaskan peran Polri sebagai penegak hukum dan pelindung masyarakat.
Selanjutnya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono upaya reformasi berlanjut dengan fokus pada perbaikan internal dan profesionalisme. Meskipun demikian, pada era ini muncul berbagai kritik dan desakan dari masyarakat sipil (terutama LSM) untuk reformasi yang lebih mendalam, terutama terkait kasus-kasus korupsi dan citra Polri di mata publik. Wacana untuk "mengembalikan citra polisi" menjadi tema sentral pada masa ini.
Pada Era Presiden Jokowi, secara konsisten pemerintah mendorong perbaikan budaya (kultural) di internal Polri. Konsep seperti "Presisi" (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi Berkeadilan) menjadi kerangka kerja untuk mewujudkan transformasi ini.
Wacana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto saat ini adalah kelanjutan dari proses panjang tersebut, dengan penekanan pada pembentukan tim khusus untuk mempercepat reformasi.
Kendala Anggaran
Mereformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia ujung-ujungnya pasti bermuara pada ketersediaan anggaran. Sudah menjadi rahasia umum, aparat kepolisian dari tingkat Polsek sampai Polres nyaris nihil anggaran dalam menindaklanjuti setiap laporan dan pengaduan masyarakat yang menjadi korban kejahatan.
Bisa dibayangkan dari 325.150 kasus kejahatan yang dilaporkan dan ditangani polisi di seluruh Indonesia berdasarkan rilis akhir tahun 2024 dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sepanjang tahun 2024, berapa kerugian yang diderita petugas penyelidik dan penyidik polisi.
Penyidik atau anggota Polri hanya bisa pasrah turut patungan dengan negara dan terpaksa menguras kantong pribadi untuk menangani setiap kasus atau laporan Dumas agar tidak terhitung menjadi hutang perkara jika tidak diselesaikan.
Penyidik atau anggota Polri bahkan seringkali dihantui berbagai sanksi jika lalai atau gagal menyelesaikan kasus penyidikan, mulai dari yang bersifat internal hingga pidana. Sanksi ini diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Polri dan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Jika kelalaian itu dianggap sebagai pelanggaran disiplin, sanksinya bisa berupa teguran, penundaan kenaikan pangkat, mutasi, hingga penempatan di tempat khusus. Sementara itu, jika pelanggaran tergolong serius atau melanggar kode etik, penyidik dapat dikenai sanksi seperti pernyataan perilaku tercela, rekomendasi mutasi demosi, bahkan diberhentikan secara tidak hormat (PTDH).
Dalam kasus-kasus tertentu, jika ada unsur pidana seperti penyalahgunaan wewenang atau penghilangan barang bukti, penyidik juga dapat diproses secara pidana di pengadilan.
Ancaman sanksi ini, ‘maaf’ memaksa penyidik atau anggota Polri melaksanakan tugas dan tanggungjawab meski uang susu dan makanan bergizi anaknya harus dikorbankan.
Kendala utama yang dihadapi oleh Polri terkait minimnya anggaran adalah keterbatasan operasional yang secara langsung menghambat kualitas dan kecepatan penanganan kasus. Anggaran yang tidak memadai membatasi kemampuan Polri untuk membeli peralatan forensik modern, memelihara teknologi yang ada, dan memastikan mobilitas tim penyidik.
Selain itu, keterbatasan dana juga berdampak pada kesejahteraan dan insentif penyidik, yang dapat memengaruhi motivasi dan kinerja mereka. Dampak yang lebih luas terlihat pada upaya reformasi, di mana minimnya anggaran menghambat investasi pada pelatihan, pengembangan SDM, serta pengadaan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menciptakan institusi yang lebih transparan dan akuntabel.
Dengan demikian, kendala finansial tidak hanya memperlambat proses hukum, tetapi juga merintangi upaya fundamental untuk meningkatkan kredibilitas dan efektivitas Polri.
Di sisi lain, masalah gaji anggota polisi yang cukup rendah. Anggota Komisi III DPR RI fraksi PAN, Safiruddin Sudding, sempat menyoroti gaji seorang polisi. Menurutnya, ada perbedaan jika dibandingkan dengan polisi-polisi di negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam. Hal itu disampaikan saat rapat kerja Polri dan Kejaksaan dengan Komisi III DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, (7/7/2025). Menurut Sudding, perbedaan signifikan ini menjadi hambatan dalam menciptakan institusi kepolisian yang profesional, berintegritas, dan mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Dampak dari minimnya anggaran
Penyidikan Mandek: Banyak kasus, terutama yang sederhana (seperti pengaduan penipuan kecil, pencurian), tidak bisa ditindaklanjuti secara optimal karena penyidik harus mengeluarkan dana pribadi untuk operasional (misalnya, untuk bensin saat olah TKP, fotokopi dokumen, atau bahkan makan).
Aduan Masyarakat Terabaikan: Kondisi ini sering kali membuat penyidik enggan atau tidak mampu menindaklanjuti setiap aduan, yang pada akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Masyarakat merasa laporannya "tidak dianggap serius" atau "terlalu rumit" untuk diselesaikan.
Penyalahgunaan Wewenang: Masalah anggaran juga bisa menjadi pemicu tindakan pungutan liar (pungli) atau "damai di tempat". Penyidik bisa saja meminta uang kepada pelapor atau terlapor dengan alasan untuk biaya operasional.
Pada konteks penyalahgunaan wewenang ini, terjadi karena salah satunya ada Undang-undang pemberantasan narkoba yang memuat hukuman berat, seperti pidana penjara seumur hidup atau hukuman mati. Ini seringkali menciptakan celah bagi oknum anggota Polri untuk melakukan korupsi.
Hukuman yang berat ini membuat para tersangka bersedia melakukan apa pun, termasuk menyuap, demi meringankan atau bahkan melepaskan diri dari jerat hukum. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di kepolisian yang melihatnya sebagai peluang emas untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Akibatnya, alih-alih memberantas peredaran narkoba, praktik-praktik ilegal ini justru semakin subur di balik layar, merusak integritas lembaga penegak hukum dan mencederai rasa keadilan di masyarakat. Hal ini erat kaitannya dengan minimnya kesejahteraan anggota Polri sehinga mudah tergiur dengan upaya suap dalam menjalankan tugas.
Jadi, tanpa anggaran yang cukup, wacana reformasi hanya akan menjadi wacana kosong. Reformasi membutuhkan: Profesionalisme: Penyidik tidak akan bisa profesional jika mereka dibebani masalah finansial dalam menjalankan tugas. Transparansi: Minimnya dana sering kali menciptakan ruang gelap yang rentan terhadap korupsi. Akuntabilitas: Sulit meminta pertanggungjawaban penyidik atas kasus yang tidak selesai, jika penyebabnya adalah ketiadaan dana.
Solusi dan Harapan
Reformasi Polri ini sesungguhnya menjadi peluang besar bagi Presiden untuk menata dan menjamin kebijkan dan program pemerintah bisa menyentuh pelayanan masyarakat di tingkat bawah yang kini apatis terhadap laporan Pengaduan Masyarakat atau Dumas di Polri.
Presiden harus memastikan dan menjamin bahwa setiap laporan Dumas pasti ditindaklnjuti aparat polisi. Jangan berhenti pada wacana reformasi Polri, tetapi Presiden juga harus memastikan dukungan anggaran yang nyata dan memadai untuk fungsi inti Polri, yaitu penegakan hukum di lapangan.
Selain itu Pemerintah dan DPR harus menjadikan prioritas dengan merevisi alokasi anggaran Polri, dengan memberikan porsi yang lebih besar untuk biaya operasional penyidikan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.
Struktur anggaran Polri harus diperhatikan dan ditata secara proporsional karena sebagian besar anggaran mungkin habis untuk belanja rutin (gaji, tunjangan, infrastruktur) dan pengadaan alutsista (senjata, kendaraan), sementara anggaran operasional penyelidikan dan penyidikan yang menyentuh langsung pelayanan publik justru sangat kecil.
Presiden harus berani menegaskan bahwa investasi pada anggaran penyidikan adalah investasi pada kepercayaan publik. Dengan dukungan dana yang memadai, Polri bisa lebih profesional, transparan, dan akuntabel, sehingga mimpi reformasi bisa menjadi kenyataan.
Keajaiban Polri
Merunut dari laporan kinerja Kepolisian tahun 2024 lalu, dalam penyelesaian kasus, Polri berhasil menyelesaikan 244.975 kasus, yang setara dengan 75,34% dari total 325.150 kasus yang ditangani.
Penyelesaian melalui Restorative Justice terdapat peningkatan signifikan dalam penggunaan mekanisme restorative justice, yaitu menjadi 21.063 perkara, naik 15,89% dari tahun 2023.
Jenis Kasus Paling Banyak adalah : Pencurian dengan Pemberatan (Curat), Penganiayaan, danPencurian Biasa.
Kasus lain yang menonjol, Polri berhasil mengungkap dan menangani kasus-kasus khusus seperti: Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan 621 kasus yang diselesaikan, Narkoba dengan 42.824 kasus diungkap, dan Kejahatan investasi dengan 45 perkara yang diungkap.
Pencapaian ini tak lepas dari keajaiban penyidik anggota Polri yang bersedia berkorban patungan biaya dengan negara untuk melayani warga masyarakat meski uang susu dan makanan bergizi anaknya harus dikorbankan...
Edison Harianja